Bunuh Diri Bukan Lelucon



Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus bunuh diri di Indonesia. Gue pribadi menganggap bahwa isu bunuh diri adalah isu yang sangat perlu diperhatikan dalam hal penanggulangan dari segi mental maupun sosiologisnya. Beberapa kasus yang marak diberitakan, ternyata penyebab bunuh diri ngga bisa dilihat dari satu faktor saja—tapi banyak faktor yang menyebabkan terjadinya bunuh diri.

Arti bunuh diri atau suicide (dalam istilah Bahasa inggris) yang dilansir dalam Wikipedia adalah sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Bunuh diri seringkali dilakukan akibat putus asa, yang penyebabnya seringkali dikaitkan dengan gangguan jiwa misalnya depresi, gangguan bipolar, skizofrenia, ketergantungan alkohol/alkoholisme, atau penyalahgunaan obat.

Menurut Emile Durkheim dalam bukunya yang berjudul Suicide ada empat tipe pemicu yang menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri, yang pertama disebut sebagai bunuh diri egoistik. Bunuh diri egositik ini adalah sedikitnya integrasi sosial yang dilakukan oleh individu kepada kelompok sosial seperti bergaul dan berinteraksi. Tipe yang kedua adalah bunuh diri altruistik yang dimana bunuh diri disebabkan karena kuatnya integrasi sosial sehingga individu mengorbankan dirinya demi kepentingan kelompok-kelompok. Tipe yang ketiga adalah bunuh diri anomik—melakukan bunuh diri ketika hukum, tatanan serta moralitas mengalami kekosongan. Lalu yang terakhir adalah tipe bunuh diri fatalistik. Yang mana bunuh diri fatalistik merupakan bunuh diri yang diakibatkan karena tingginya nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga menyebabkan individu tertekan atas nilai norma tersebut.

Dari beberapa faktor pemicu terjadinya seseorang melakukan bunuh diri memang ngga bisa dilihat dari satu sisi. Kita juga ngga bisa menjadikan satu faktor sebagai alasan baku seseorang melakukan bunuh diri. Banyak orang yang menyalahkan situasi yang ngga mendukung sebagai faktor penyebab terjadinya bunuh diri. Padahal selain situasi, bunuh diri dilakukan karena respon psikologis seseorang yang tidak berdaya untuk melakukan sesuatu hal. Lagi-lagi yang menjadi concern adalah tentang kesehatan jiwa seseorang. Di Indonesia masih menjadi sesuatu hal yang tabu kalau ada orang yang konsultasi ke psikolog alasannya karena mahal dan anehnya kebanyakan orang menganggap kalau yang datang ke psikolog hanyalah untuk orang yang gangguan jiwa. Sedangkan di beberapa negara maju, pemeriksaan kesehatan jiwa merupakan salah satu hal yang wajib untuk dilakukan.

Untuk meminimalisir tindakan bunuh diri yang marak dilakukan belakangan ini, orang terdekat adalah menjadi support system yang paling utama bagi si individu tersebut. Walaupun orang yang mengalami gangguan jiwa ngga bisa dilihat secara kasat mata. Tapi kita bisa memulai untuk menjadi pendengar. Karena menurut yang gue lihat dan yang gue alami, individu yang mengalami gangguan jiwa, depresi misal, itu hanya butuh didengar. At least, kita sudah membantu si individu ini untuk berbagi keluh kesahnya. Memang impact-nya ngga seberapa, tapi percaya, kekuatan mendengarkan itu luar biasa banget! Peran pemerintah juga ngga kalah penting untuk meminimalisir tindakan bunuh diri yang sering terjadi. Misalkan ada program pemeriksaan kesehatan jiwa yang dilakukan secara berkala di puskemas, atau rumah sakit. Dan sosialisasi secara merata ke masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa. Atau sosialiasi mengenai apa yang harus masyarakat lakukan jika menghadapi individu yang ingin melakukan bunuh diri. Sebenarnya banyak hal yang dapat dilakukan. Kuncinya adalah konsisten untuk terus melakukan.

Kita ngga bisa menganggap isu ini adalah sebagai isu yang sepele, karena bisa jadi faktor yang menyebabkan atau yang memicu bunuh diri bisa terjadi di diri kita atau orang terdekat kita. Selain mendekatkan diri pada Tuhan, ngga ada salahnya untuk berbagi cerita ke orang yang menurut kita tepat untuk diceritakan. Jangan pernah merasa sendiri. Saling mendengarkan adalah sesuatu hal yang baik dan ngga salah untuk dilakukan.


“Being alone never felt right. sometimes it felt good, but it never felt
right.”
(Charles Bukowski, Women)




Komentar

Postingan Populer