Mimpi Itu Gak Serius! #Sisi Pandang
“Setiap
orang pasti ada yang mempercayai mimpi dan ada yang tidak mempercayainya. Tapi untuk
gue, mimpi itu adalah nyata.”
Di awal 2013 kali pertama
gue menemukan bakat dan hobi menulis lalu akhirnya gue beranjak untuk membuat
beberapa karya serta ikut perlombaan tingkat sekolah pada saat itu. Menulis bagi
gue adalah salah satu kejujuran yang berasal dari hati dan jiwa. Kenapa begitu?
Karena ketika menulis, segala imajinasi dan keinginan untuk meluapkan kata demi
kata ialah datang dari kejujuran hati. Gak akan mungkin seseorang dapat menulis
dengan jujur tanpa berkompromi dengan hati dan imajinasinya terlebih dulu. Saat
itu, gue jadi kecanduan dengan menulis. Dan gue mulai mengulik berbagai macam
cerita.
Dan pada tahun 2014, gue
mendatangi sebuah Workshop walaupun acara tersebut gak relate dengan
dunia penulisan, tapi yang membuat gue selalu ingat dengan acara tersebut
adalah ketika gue dan teman-teman yang lain diminta untuk menuliskan mimpi apa
saja dan keinginan yang mungkin akan dicapai untuk lima atau sepuluh tahun kedepan.
Dalam list mimpi gue tersebut, salah satunya adalah “Aku mau punya buku sendiri”
kalau boleh jujur, pada saat menulis mimpi itu, samasekali gak ada keseriusan
dan dibilang cukup asal-asalan dalam menulisnya. Intinya, ya, asal nulis. Setelah
pulang dari acara tersebut, tentunya gue sangat amat gak perduli dengan
mimpi-mimpi yang telah gue tulis.
Waktu demi waktu berjalan,
transisi dan tingkatan menulis gue semakin meningkat walaupun belum sempurna
atau baik dalam teknis maupun hal yang lain, tetapi gue terus belajar dari
berbagai cara serta pengalaman orang-orang. Awalnya gue hanya menulis dan
menuangkan puisi-puisi gue di beberapa platform menulis dan akhirnya proses itu
meningkat. Yang awalnya sekadar menulis, tapi gue dapat membacakan hasil
tulisan gue ke banyak orang. Biasanya gue sebut “manggung”. Hal tersebut
membuat gue semakin percaya dengan kemampuan menulis gue. Tapi, kemampuan
tersebut tidak serta merta membuat gue merasa sudah “jago” atau yang lain. Justru
hal tersebut membuat gue semakin banyak ingin tau⸻dan malah membuat gue sering bertanya-tanya
dengan diri sendiri “Bisa diterima gak, ya, tulisan gue ini?”
pertanyaan-pertanyaan serta ketakutan yang sering muncul sempat membuat gue down
dan vakum beberapa saat dalam menulis. Sampai akhirnya gue percaya dan mempunyai
prinsip “Silakan menulis dengan sesuka hati lo. Tuangkan segala kejujuran lo
melalui tulisan. Kalau ada seseorang yang bersedia membaca tulisan lo, anggaplah
itu sebagai bonus.”
Lika-liku kesulitan dalam
menulis sering gue hadapi. Dari yang menuduh gue sebagai plagiat dan lain-lain.
Mungkin pada saat itu gaya tulisan gue dan penulis tersebut sama. Tapi ketahuilah,
setiap penulis kadang kala mempunyai persamaan dalam pemikiran serta gaya
menulis . Tetapi makna yang ditulis sudah pasti berbeda. Karena kemurnian makna
dari tulisan yang ditulis hanya dapat dimiliki oleh penulis dari tulisan itu
sendiri. Tetapi penulis membebaskan para pembacanya untuk memaknai dengan bebas.
Dari tahun 2015 sampai
2018, gue selalu mengarsipkan beberapa puisi gue. Ya, hanya dijadikan sebagai
koleksi. Tetapi takdir berkata lain. Pertengahan tahun 2018, ada salah satu
penerbit yang bersedia untuk menerbitkan puisi gue dalam bentuk buku. Rasanya pada
saat itu sudah pasti gemetar⸻gila, tidak menyangka seorang anak remaja yang
menulis mimpinya dengan tidak serius tapi akhirnya menjadi nyata. Walaupun pada
saat menentukan konsep, puisi gue masih sangat kurang untuk dijadikan dalam
satu buku. Akhirnya gue menelepon salah satu teman baik gue, Helmi, untuk
menggarap projek tersebut. Alhamdulillahnya beliau bersedia. Gue percaya dengan
Helmi, karena menurut gue, beliau adalah sosok yang berkomitmen dan selalu
totalitas dalam mengerjakan apa pun. Termasuk dalam dunia seni. Terimakasih
Helmi telah mewujudkan salah satu mimpi gue. Pada saat menggarap untuk membuat
buku, per-drama-an belum berhenti. Ada perbedaan keinginan konsep serta waktu
yang tidak pas antara gue dan Helmi. Tapi kita tetap kembali dengan komitmen yang
telah disepakati pada saat itu.
Membuat buku mudah? Tentu
tidak. Dari penyeleksian puisi yang harus disisipkan dan mana yang tidak itu
menjadi sebuah perdebatan. Penyuntingan serta kesalah pahaman sering terjadi. Tetapi
kita berdua dapat melewatinya dengan komunikasi dan kembali menyatukan konsep. Ternyata
kemudahan dan kesulitan itu kita yang ciptakan. Bukan karena seberapa sulit
atau mudah hal tersebut datang, tetapi seberapa sulit atau mudah kita
menghadapi dan menyikapi hal tersebut datang. Setelah semua selesai pada tahap penyeleksian
dan editing, drama pun belum berhenti. Pada tahap penerbitan, gue sempat
kecewa dengan beberapa hal. Salah satunya adalah lambannya penerbitan dan tidak sesuai dengan tanggal
yang telah ditentukan. Kecewa? Sangat. Tapi rasa senang dan bangga telah berhasil
menggantikan kekecewaan.
Dari berbagai drama dan polemik
yang dihadapi, buku yang ditunggu-tunggu dan memakan proses yang cukup lama
akhirnya mendarat dengan baik. Tidak henti-henti memikirkan ketidak percayaan semua
ini. Berkali-kali bertanya pada diri sendiri “Beneran gue punya buku?” terlihat
mustahil tapi memang nyata. Lalu memori pada saat mendatangi salah satu acara beberapa
tahun silam muncul kembali, dimulai dengan ketidak seriusan dalam menulis mimpi
serta proses dan transisi peningkatan menulis dari tahun ke tahun, manggung, dituduh
sebagai plagiat, dan sampai akhirnya ada salah satu penerbit yang bersedia untuk
menerbitkan buku gue dan Helmi. Sisi Pandang, judulnya. Mengapa memilih Sisi
Pandang sebagai judul? Karena gue dan Helmi percaya bahwa setiap orang memiliki
pandangan terhadap apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Tapi kadang kala
banyak orang yang tidak mampu untuk meluapkan pandangannya dalam hal ketidak benaran,
ketidak adilan, kesalahan-kesalahan, kebenaran, rasa sayang, benci serta
kerinduan. Lewat Sisi Pandang, gue dan Helmi berusaha menumpahkan itu semua
dalam sebuah tulisan. Walaupun Sisi Pandang masih sangat jauh dari kata
sempurna, tetapi lewat Sisi Pandang membuat gue percaya dan yakin bahwa segala
proses, jatuh bangun serta mimpi yang tidak serius sekalipun dapat dicapai. Mimpi
tidak hanya menjadi mimpi jika dihadapi dengan segala kesungguhan dan kerja
keras.
Gue pernah menulis:
“Berkomitmen
sama hidup itu emang perlu. Apa yang direncanakan, sebisa mungkin diwujudkan. Bukan
sekadar tulisan keinginan yang terpajang dalam dinding kamar. Melainkan harus
terpajang dalam dinding tujuan hidup. Bermimpi boleh, tapi jangan lupa untuk
berusaha mewujudkan mimpinya. Usaha, doa, dan dukungan adalah bekal untuk
berjalan di atas mimpi-mimpi. Jatuh seratus kali, tapi harus bangkit seribu
kali.”
⸻Tasyasls
1
November 2018.
Komentar
Posting Komentar